Kenapa Kita Perlu Berhenti Menghasilkan Sampah?
Diperbarui: 9 Nov 2020
Artikel ini merupakan kontribusi dari Marcel Agusta Farras, seneng banget dari cerita dari Marcel karena kami jarang-jarang dapet insight dari temen-temen cowok nihh. Kamu bisa follow akun sosial medianya Marcel di @marcelafarras yah! Oya, ilustrasinya juga disiapkan oleh salah satu volunteer kami @d.ncahyani, thank you Chayani!
Reduce, Reuse, Recycle
Kata yang sering didengar bukan?
Kata yang paling popular digaungkan
Kata yang mungkin sekarang tidak ada artinya bahkan.
Kenapa?
5 tahun sudah saya mulai concern di bidang lingkungan hidup, dimana sudah 2 tahun saya diamanahkan untuk aktif bergerak bagi organisasi tingkat universitas di bidang lingkungan hidup. Fokusnya, tentu saja, karena sasarannya mahasiswa jadi masalah yang paling dekat untuk diangkat adalah tentang Sampah.
Kampanye, edukasi, informasi, konferensi, advokasi, dan berbagai upaya penyadaran lainnya telah saya lakukan namun pada akhirnya saya sadar; kesadaran kita terhadap masalah lingkungan (khususnya sampah) sudah bagus, namun terhalang oleh kebiasaan.
Saya ambil contoh, penggunaan tumbler. Program saya salah satunya adalah membagi-bagikan tumbler secara gratis. Harapannya, agar mahasiswa di kampus saya mulai sadar akan banyaknya botol plastik yang mereka hasilkan dan berpindah ke botol minum sendiri. Disinilah masalahnya timbul: tumblernya mungkin tertinggal, atau karena botolnya tidak cukup besar yang pada akhirnya mereka akan kembali membeli botol plastik.
Itu baru tumbler, masih ada tentang sedotan, kantong plastik, food waste, dan lainnya.
Tahun 2019 lalu, rata-rata 7.700 ton sampah yang masuk ke TPST Bantargebang per harinya. Fyi, TPST ini hanya melayani sampah dari warga Jakarta. Dan ini adalah sampah yang berujung di landfill, bagaimana dengan yang ‘dibuang’ ke laut? Menurut Kemenkomaritim, terdapat setengah juta ton sampah di laut Indonesia setiap tahunnya. Setara dengan berat 100.000 ekor Gajah Sumatera.
Saya pikir hal ini cukup merepresentasikan kebiasaan kita dalam memproduksi sampah.
Kembali kepada prinsip 3R, adalah orientasi utama kami – yang peduli lingkungan dan belum punya power yang besar untuk merubah sebuah sistem – untuk menekankan pada semua orang bahwa yang paling penting dalam hal ini adalah REDUCE.
Bukan berarti Reuse dan Recycle tidak penting. Tapi begini logikanya: tidak akan ada tahap Reuse dan Recycle dalam jumlah besar, apabila kita menerapkan eco-friendly lifestyle, zero waste. Coba kita bayangkan kita yang melakukan semua tahap ini sendiri tanpa adanya bantuan pihak lain. Kita diharuskan untuk memakai ulang dan mendaur-ulang sampah kita sendiri. Mungkin di awal-awal kita masih mampu. Namun apakah kita masih sanggup mengelola sampah-sampah kita di bulan kedua? Tidak. Maka dari itu pentingnya prinsip ‘mengurangi’ sampah. Kita sudah menangani sebuah masalah dari hulu nya langsung.
Karena pada dasarnya apa yang sudah ada di hilir merupakan sebuah implikasi dari apa yang terjadi di hulu nya. Banyaknya sampah yang masuk ke TPST Bantargebang dan Recycling Center lainnya adalah akibat kita yang terlalu banyak menghasilkan ‘masalah’.
Buat teman-teman semua, ayolah. Coba lah untuk berempati terhadap orang yang terdampak. Kita mungkin ada di hulu masalah, jadi kita tidak akan melihat langsung dampaknya. Tapi, cobalah sekali-kali main ke Bantargebang dan coba nikmati 5 gunungan sampah disana.
Oh iya by the way, banyak kabar tempat pembuangan akhir (TPA) udah mulai overload lho. Jadi harus ada perluasan tempat dan ada potensi ‘kolaps’ nya juga. Tidak lain dan tidak bukan yaa karena banyaknya sampah yang masuk setiap harinya.
Jadi, saya sangat berharap agar teman-teman semua untuk lawan kebiasaan lama. Ayo, mulai bijak dengan sampah-sampah yang kita hasilkan. Mulai miliki tumbler, kotak makan, reusable straw, dan starter pack eco-friendly lifestyle lainnya. Karena saya percaya, hal-hal yang positif sifatnya menular.
Dan kita adalah dalang nya 😊
Comments