top of page
  • Gambar penulisCleanomic

Apa itu Blue Carbon?

Diperbarui: 4 Agu 2021


Jadi, apa itu Blue Carbon? 

Karbon biru merupakan istilah untuk karbon yang diserap dan disimpan di eksosistem pesisir dan laut, termasuk yang tersimpan dalam lahan basah pasang surut, seperti hutan pasang surut, hutan mangrove, semak pasang surut, dan juga padang lamun (seagrass, sejenis tumbuhan/rumput laut). 

Nah, karena disimpan di bawah air, dan berhubungan dengan perairan, karbon ini disebut ‘Karbon Biru’.


Trus, hubungannya dengan carbon footprint apa?

Sebagian dari kamu pasti sudah mengerti, bahwa setiap kegiatan kita menghasilkan gas rumah kaca (yang perhitungannya disetarakan dengan gas karbon dioksida), secara langsung ataupun tidak langsung. Jadi sebenarnya, secara alamiah, karbon yang dihasilkan di alam ini, oleh kita dan secara alamiah oleh tumbuh-tumbuhan dan binatang, selain diserap oleh tumbuhan di daratan, juga diserap oleh ekosistem pesisir dan laut. Rumput laut, hutan mangrove, serta rawa-rawa di sepanjang pantai kita menangkap dan menahan karbon biru di bawah tanah yang tidak bisa terlihat oleh kasat mata. 


Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan (Puslitbanghut) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam website resminya menyatakan, cadangan karbon pada ekosistem hutan bakau tersimpan menjadi 5 sumber cadangan karbon, yaitu biomassa vegetasi hidup pada bagian atas permukaan tanah, biomassa vegetasi hidup pada bagian bawah permukaan tanah (akar), serasah (tumpukan tumbuh-tumbuhan yang sudah mati), kayu mati, dan tanah.


Kenapa Blue Carbon penting?

Sebenarnya, selain karbon birunya itu sendiri yang penting, tapi ekosistem penangkap karbon ini juga tidak kalah pentingnya. Ekosistem pesisir dan laut ini punya peran yang sangat penting dalam menangani krisis iklim karena tanaman-tanaman ini dapat menyimpan karbon 3-10 kali lipat lebih banyak dari hutan terestrial (hutan di daratan).  Ekosistem ini memang juara, karena “layanan” karbon biru ini hanya salah satu dari manfaat ekosistem ini. Ekosistem ini memproduksi gas oksigen yang kita hirup, bisa menahan abrasi pantai dengan mangrove-nya, berperan penting dalam kualitas air, mendukung ketahanan pangan dunia, kembang biak flora dan fauna pesisir dan laut, serta menyediakan pemandangan yang oke terutama buat kamu pemburu konten instagram! 


Meskipun sistem pesisir luasannya jauh lebih kecil dibandingkan hutan di daratan, kecepatan penyerapan karbon ekosistem pesisir ini ternyata jauh lebih cepat dan terus menerus melangsungkan penyerapan ini selama jutaan tahun. Jadinya memang tidak heran ya, oceanservice.noaa.gov menuliskan, karbon yang ditemukan di pesisir seringkali berusia hingga ribuan tahun.


Jadi kebayang kan kenapa ekosistem ini perlu banget dijaga?

Betul. Karena bila dirusak, ekosistem ini akan melepaskan kandungan karbonnya ke udara, sehingga yang tadinya bermanfaat, sekarang menjadi tambahan sumber penghasil gas rumah kaca. 


Bagaimana di Indonesia?

Mungkin sebagian kamu tahu, Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai garis pantai terpanjang ke-empat di dunia. Dengan panjang pantai yang lebih dari 95 ribu kilometer ini (btw, panjang garis khatulistiwa “cuma” 40 ribuan, loh), Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), di tahun 2015 Indonesia mempunyai luas mangrove sebesar lebih dari 3,4 juta Ha. Jumlah ini setara dengan 23% ekosistem mangrove dunia. Selain itu, hutan mangrove Indonesia menyimpan lima kali karbon lebih banyak per hektar dibandingkan dengan hutan tropis dataran tinggi.  

Dengan modal mangrove yang besar ini, mangrove di Indonesia menyimpan sepertiga stok karbon pesisir global.


Pasti ada tapi-nya, nih?

Sayangnya, iya. Ekosistem karbon biru pesisir telah hilang pada tingkat mengkhawatirkan, diperkiran sepertiga dari total global hilang selama beberapa dekade terakhir. Dikutip dari laman tempo.com, hutan mangrove Indonesia menghilang 52 ribu Ha setiap tahun, atau setara dengan dengan luas 3 lapangan bola per minggu, dimana deforestasi mangrove terbesar disumbang oleh penggunaan lahan untuk tambak udang. 

Selain itu, dari luas mangrove di Indonesia, diketahui seluas 1,67 Ha dalam kondisi baik, sedangkan sisanya dalam kondisi rusak. Pemerintah pun sudah terus berusaha merehabilitasinya. Selama kurun waktu 2010-2017, KLHK telah melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan mangrove seluas lebih dari 32 ribu Ha.  

Namun, kalau laju deforestasi ini tidak cepat-cepat dihentikan, ekosistem karbon biru di Indonesia akan habis dalam waktu 10-15 tahun. Sedih ya. 


What can we do?

Menjaga ekosistem pesisir dan laut pastinya yang utama.  Tapi sekarang Cleanomic mau membuat caranya lebih mudah lagi. Cleanomic sekarang berpartner dengan Carbonethics dalam menyediakan donasi dalam bentuk Blue Carbon.  Carbonethics adalah sebuah yayasan yang berfokus pada pendidikan dan implementasi program offset jejak karbon bagi individu dan institusi di Indonesia. Melalui tautan ini, kalian dapat berdonasi paket blue carbon seharga Rp50,000 yang terdiri dari:

  1. 1 pohon mangrove

  2. 1 bibit lamun (seagrass)

  3. 1 bibit rumput laut

  4. 1 bibit coral

Berbeda dengan program penanaman pohon lainnya, program ini mencakup monitoring reguler bibit dan ekosistem selama 3 tahun oleh tim Carbonethics untuk memastikan bibit yang ditanam tumbuh dengan baik dan menjadi ekosistem yang subur. Mau ikutan monitoring? Boleh banget!  Carbonethics punya program volunteer dan trip yang cukup reguler untuk kegiatan monitoring penanaman karbon biru ini dan trip ini juga bisa dilaksanakan by request.


Program karbon biru ini dilaksanakan di Pulau Harapan dan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.

Simak penjelasan lebih lanjutnya di obrolan CEO kami, Denia, bareng Nandya, salah satu foundernya Carbonethics di youtube video di atas atau podcast channel nya cleanomic!

Oya, Carbonethics punya kalkulator yang bisa menghitung jumlah jejak karbon kamu lho.  Kamu bisa coba hitung disini yah!

Yuk dengerin obrolannya dan simak episode menarik lainnya !



Sumber:

[1] Keys to successful blue carbon projects: Lessons learned from global case studies (Lindsay Wylie, Ariana E.Sutton-Grier, Amber Moore, Marine Policy, Volume 65, March 2016, Pages 76-84)

[2] https://www.thebluecarboninitiative.org/

[3] https://oceanservice.noaa.gov/facts/bluecarbon.html

[4] http://puslitbanghut.or.id/data_content/attachment/Hutan_Mangrove_untuk_Mitigasi_PI.pdf

[5] https://www.iucn.org/resources/issues-briefs/blue-carbon

[6] https://grafis.tempo.co/read/1264/laju-deforestasi-mangrove-hutan-bakau-indonesia-gundul

[7] https://forestsnews.cifor.org/31191/mangrove-indonesia-berkas-fakta-kekayaan-nasional-dalam-ancaman?fnl=id

[8] https://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/561

[9] https://tekno.tempo.co/read/1108480/apa-itu-blue-carbon-ini-penjelasannya 

[10] https://www.mongabay.co.id/2014/06/26/que-vadis-blue-carbon-di-indonesia/

[11] https://youtu.be/aLuSi_6Ol8M

[12] https://www.youtube.com/embed/aLuSi_6Ol8M

[13] https://wri-indonesia.org/id/blog/mempromosikan-karbon-biru-indonesia-untuk-mencapai-pembangunan-triple-win

403 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page